Langit sedang terik-teriknya dan perempuan itu sedang asyik-asyiknya. Ia sedang membaca sebuah buku bersampul abu-abu. Sesekali ia membersihkan debu yang menempel pada tiap lembar buku. Bukunya memang sudah usang sebab selama bertahun-tahun ia letakkan secara sembarang. Tanpa dirawat, tiada manfaat. Kali pertama ia membaca buku itu delapan tahun lalu, saat ia masih menjadi pelajar SMA tingkat tiga.

Proses membaca kala itu terjadi begitu lama, empat tahun. Pada tiga bab awal, ia amat menikmati segala kisah yang disuguhkan sebab topiknya hanya seputar romantika muda mudi, nyaris tanpa konflik yang menguras energi. Konflik ada hanya sebagai bumbu yang justru menambah rasa kisah. Ia bahkan enggan berpindah ke lain bab karena terlalu dimabukkan dengan adegan-adegan maharomantis yang ada dalam tiga bab awal itu. Semua alur berjalan sesuai dengan yang ia impi-impikan.

Perihal kisah yang memabukkan pada tiga bab awal, jelas bukan omong kosong belaka. Bahkan, siang itu, saat kali kedua ia membaca ulang, ia masih menemukan bibirnya melengkung ke atas sebagai wujud gerak tawa ekspresif yang tiada bersuara. Ia senang hingga tanpa sadar ia malah membangun ekspektasi terhadap bab penutupnya. Ia mulai merangkai kalimat demi kalimat agar akhirannya sesuai dengan yang ia dambakan.

Ia banyak menghabiskan detik demi detik pada siang yang makin bolong itu untuk memimpikan penutup kisah yang apik. Sambil otaknya bekerja, tangannya pun terus bergerak membalikkan lembar demi lembar menuju bab akhir. Raut wajahnya mendadak berubah muram saat ia mendapati bab empat tidak selaras dengan apa yang ada di kepalanya. Ya, memang bukankah buku yang bagus tidak selalu memiliki akhir yang apik?

Dengan tatapan nanar, ia menutup buku itu. Ia lantas memandangi sampul belakangnya. Satu menit, ia masih belum bisa menerima. Dua menit, ekspektasinya masih belum mau mengalah. Tiga menit, matanya teralihkan dengan sebuah catatan bertinta hitam yang sudah tidak begitu nyata. Sepertinya ia sendirilah yang menulisnya pada sampul belakang buku itu. Catatannya berbunyi, “Buku ini tidak perlu dibaca lagi. Kisah penutupnya tragis.”

Seandainya catatan tersebut ia temukan saat awal mula ia memutuskan untuk membaca ulang buku itu, tentu ia akan mengurungkan niatnya. Ia tidak perlu membuang-buang waktu untuk membaca kisah yang tidak bisa ia ubah dengan seenaknya. Ia bukan penulisnya. Ia tidak punya kuasa mengubah alur cerita. Ia mesti ikhlas. Saat ia mencoba bernegosiasi dengan ekspektasinya, tiba-tiba notifikasi ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari teman dekatnya semasa kuliah.

Balik sama mantan itu ibarat baca buku yang sama dua kali, jalan cerita dan penutupnya sama,” ujar si teman dekat.

“Sialan,” umpatnya dalam hati.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.