Catatan khusus sebelum membaca: Karena tulisan ini dibuat sambil mendengarkan musik instrumental film The Godfather, coba bacalah sambil mendengarkan musik tersebut.

Tautan musik: https://www.youtube.com/watch?v=A80pz7ZvF5s.

Kalau boleh memaparkan seberapa kenal saya dengan diri sendiri, saya merasa sangat kenal. Saya mengenal diri saya sebagai seorang yang selalu punya mimpi, tujuan, dan semangat yang membara di dalam dada. Dalam kehidupan sosial, saya sempat menjadi manusia yang selalu ingin menonjol, menjadi pusat perhatian pada segala lini pertemanan. Saya senang berkarya, membuat sebuah komunitas ataupun gerakan. Saya senang mempelajari hal baru.  Bahkan, saking banyaknya hal yang ingin saya pelajari, saya sering tidak fokus pada satu hal. Barangkali saya terlihat serakah dan tidak wawas diri. Hal itulah yang membuat saya merasa tidak punya satu pun keterampilan khusus yang menonjol. Semua serbatanggung, serbasetengah-setengah. Semua itu digerakkan oleh suasana hati yang berubah-ubah. Namun, meski begitu, saya sangat mengenal Idham. Ia selalu penuh semangat dan tidak pernah berhenti melahirkan ide di kepalanya.

Saya juga adalah orang yang emosional, mudah marah, menangis, senang, dan sedih. Namun, karena tingkat emosi yang tinggi tersebutlah saya merasa lancar berkarya. Saya bisa mencurahkan segala yang saya rasakan menjadi sebuah karya, apa pun bentuknya. Kadang-kadang saya menulis puisi, membuat lagu, membuat naskah drama yang entah akan saya pentaskan di mana, menggambar, hingga mengekspresikannya melalui sebuah video ataupun foto. Semua karya yang saya buat didasari emosi yang saya alami.

Kini, entah dimulai sejak kapan, hal-hal serupa itu kian terkikis dalam diri saya. Rasanya banyak kata yang bersesakan, berkecamuk dalam kepala saya, meminta dituangkan menjadi berpuluh-puluh lembar tulisan. Namun, entah mengapa, saya merasa kehilangan daya dan upaya, kehilangan rasa dalam diri saya. Sekali lagi saya tidak tahu semua bermula di mana, tetapi saya merasa separuh dari diri saya hilang.

Saya tidak pernah lagi merasakan kesenangan atas apa yang terjadi dalam hidup saya sekalipun saya mendapatkan hadiah. Saya juga tidak pernah lagi merasakan kesedihan. Kini saya tidak punya gairah, bahkan sekadar untuk berimajinasi pun tidak. Hal itu membuat diri saya tidak bergairah untuk melakukan apa pun. Apa yang selama ini menjadi kesukaan atau hobi saya, menjadi begitu biasa di mata saya. Sungguh, apa yang terjadi sebenarnya dalam diri saya? Saya geram, berusaha memancing gairah saya kembali dengan berbagai cara, tetapi tak kunjung menemukan titik.

Kaukah itu anhedonia? Kau merasuki jiwa saya tanpa mengetuk pintu.

Berdasarkan hasil pencarian saya di internet, gejala yang saya rasakan adalah anhedonia, yaitu kondisi ketika seseorang tidak merasakan kesenangan meskipun dirinya tidak sedang sedih atau galau. Anhedonia adalah salah satu penyebab depresi yang bisa membuat seseorang kehilangan ketertarikan terhadap apa yang sebelumnya menarik baginya. Namun, tentunya saya tidak ingin mengeklaim sendiri apa yang saya alami. Saya hanya menduga, seandainya ia—anhedonia—seorang manusia, saya ingin bertanya, “Kaukah itu dalam relung jiwaku?” Saya ingin mengajaknya berbicara, menyelesaikan permasalahan secara jentelmen, kemudian berkolaborasi menciptakan dialog-dialog melantur yang entah akan disukai siapa. Sebabnya, anhedonia telah memadamkan bara api yang menyala dalam tubuh saya untuk segala urusan dalam kehidupan.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.