Tanpa Judul
Dua manusia saling berlomba untuk memecah keheningan. Mata mereka tidak saling beradu. Yang satu menatap layar ponsel. Yang satu lagi menatap ke seberang jalan. Sulit sekali rasanya bagi mereka untuk membuka percakapan meski hanya bertanya, “Apa kabar?” Sang perempuan yang biasa ber-fasfesfos waswaswos kini mengutuk isi kepalanya yang riuh dan sikapnya yang kian kikuk. Ia malah makin rungsing dalam diam. Namun, ia pun tidak ingin membiarkan malam berlalu begitu saja.
“Kok diem aja?” kata sang laki-laki berhasil memenangkan perlombaan.
Lalu, suasana hening menjelma menjadi musik tegang. Kini, perempuan terlihat sibuk memilah kalimat yang hendak ia luncurkan sebagai jawaban. Ia terjebak pada pilihan, “Aku bingung mau ngobrolin apa”; “Iya, kita makin asing”; atau “Aku gugup ketemu kamu”.
“Ya, lo juga diem aja, kan,” jawab sang perempuan. Kepala dan mulutnya betul-betul tidak bisa disinkronkan. Ia gugup tidak keruan.
“Kebiasaan banget jawabnya,” balas sang laki-laki yang matanya kemudian berkeliling di sekujur tubuh sang perempuan.
“Kok, tumben enggak pake Keds?” tanya sang laki-laki untuk yang kedua kalinya.
“Yang bikin nyaman kadang memang harus dilepas, kan?” sang perempuan bertanya balik dalam hati.
“Iya, Kedsnya lagi dicuci,” jawab sang perempuan. “Ke mana aja selama ini?” tanyanya kemudian—tepat pada inti topik yang ia inginkan.
“Menurut lo ke mana?”
“Kok, nanya balik? Kebiasaan.”
Kebiasaan mereka sama kali ini: sama-sama menggunakan kata kebiasaan.
“Yang jelas enggak ke surga,” jawab sang laki-laki kemudian.
Raut muka sang perempuan lambat-lambat berubah jemu. Ia nyaris memainkan ponselnya lagi. Namun, urung.
“Bercanda. Jangan terlalu serius, ah,” ujar sang laki-laki seolah menggoda.
“Jadi, janji untuk selalu bikin bahagia setelah naik bianglala itu bercanda juga?” sergap sang perempuan.
“Setelah naik bianglala, kan, enggak mesti besoknya, bisa aja hari ini. Ayo, kalau mau dibikin bahagia.”
“Makin enggak ngerti sama lo yang sekarang.”
Sang perempuan sedang tidak ingin bermain tebak-tebakan. Ia sudah muak berteman dengan tanda tanya. Sebelum malam ini, dalam setiap doa menjelang tidur, pintanya tak pernah menjadi lain. Ia hanya ingin mendapat kabar. Pernah pada suatu hari yang lampau, sang laki-laki bertanya tentang hal-hal yang tidak disukai sang perempuan. Sayangnya, sang perempuan tidak menjawab bahwa ketiadaan sang laki-laki ialah hal yang paling memukul dada dan ia tidak suka akan hal itu.
Kepala sang perempuan memang tidak terlalu pintar untuk menerjemahkan segala sebab, tetapi kepalanya juga yang akan memaklumi seandainya malam ini sang laki-laki memberi alasan untuk beberapa peristiwa. Alasan kenapa kontak sang laki-laki tidak lagi bisa tersambung saat ia hubungi. Alasan kenapa akun media sosial sang laki-laki melenyap tanpa sisa. Alasan kenapa rumah sang laki-laki ditempati oleh pemilik yang baru saat ia datangi. Alasan-alasan yang ia harap bisa dicerna oleh akal manusia. Namun, sepertinya, harap sang perempuan itu tidak akan mewujud nyata.
“Gue pulang, ya,” ucap sang perempuan seraya mengambil kunci mobil di tasnya.
Belum selesai sang perempuan berdiri, dengan sigap sang laki-laki menarik lalu memegang erat pergelangan tangan sang perempuan. Mereka saling bertatap. Satu per sekian detik kemudian, mereka saling berpeluk.
Sang laki-laki berbisik, “Gue lagi enggak pengin menjelaskan banyak hal sekarang. Nanti, ya. Gue kangen. Bukan cuma lo yang tersiksa setahun ini. Gue juga.”
Pelukan mereka kian lekap. Setelah itu yang tersisa hanyalah suara angin yang berlalu-lalang pada malam yang makin larut.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.