Tidak Ada Templat untuk Menjadi Baik
Malam ini, saya berdoa kepada Tuhan, Ya Tuhan, saya ingin menjadi orang yang baik. Jelas sekali saya bukan pendoa yang ulung. Namun, bukankah Tuhan akan mengerti maksud doa yang kita ajukan tanpa perlu kita berikan konteks yang lebih mendetail?
Mungkin di atas sana, Tuhan tertawa saat mendengar (atau menyaksikan?) doa hamba-Nya yang begitu konyol. Ah, namun, kalau dipikir ulang, doa tersebut wajar, kok. Meski saya tahu, selesai saya berucap amin, Tuhan tidak akan serta-merta mewujudkan permintaan saya tersebut.
Seusai berdoa, seketika kepala saya menjelma jalan raya. Ramai dan bising. Ingatan tentang peristiwa-peristiwa pada masa lampau saling meroda dan bertabrakan. Saya perlu mengeluarkan semuanya satu per satu agar kepala saya tak lagi sesak.
Pertama, dimulai dari ingatan tentang seorang tokoh agama yang tepergok selingkuh oleh masyarakat. Sepuluh tahun keluarga saya mengenal beliau: sembilan tahun sebelas bulan kami belajar agama darinya; sebulan sisanya kami belajar dari kesalahannya. Ingatan tentang tokoh agama tersebut perlu saya usir sesegera mungkin agar saya tidak bertingkah seperti warganet dan berucap tokoh agama saja bisa berselingkuh. Jika sosok baik versi saya adalah ia yang bisa mengajarkan ilmu ketuhanan, tokoh agama tersebut jelas sudah merusaknya.
Lalu, yang perlu saya keluarkan selanjutnya adalah ingatan tentang sosok laki-laki yang tak pernah absen beribadah, tetapi tak pernah mampu mengendalikan nafsu dan amarah. Pada Minggu pagi, mulutnya memuji kebesaran Yang Maha Esa, sedangkan pada Minggu malam, napasnya dipenuhi aroma alkohol. Saat uangnya habis dan ibunya bersikeras takkan memberinya uang tambahan, segala jenis cerca dilemparkan kepada pahlawan yang melahirkannya itu. Jika sosok baik versi saya adalah ia yang rajin beribadah, laki-laki ini jelas sudah mengaburkannya.
Ketiga, saya perlu mengeluarkan ingatan tentang keluarga saya sendiri. Selama 21 tahun saya hidup, yang saya pahami bentuknya keluarga adalah utuh, menyatu padu meski di luar rumah banyak yang menderu. Dulu, saya begitu bersikeras bahwa keluarga adalah satu-satunya rumah tempat saya berpulang kalau saya lelah berpetualang. Ayah dan ibu adalah templat paling ideal untuk selalu saya tiru. Namun, pada usia 22, saya makin sadar bahwa hidup tidak berjalan seperti fiksi yang bisa kita atur sendiri alur ceritanya. Jika sosok baik versi saya adalah ia yang tidak pernah membuat menangis, ayah dan ibu jelas sudah melanggarnya. Ayah pernah membuat ibu menangis, ibu pun begitu.
Terakhir, tinggallah ingatan tentang diri saya. Jalan raya yang tadi ramai, kini agak lenggang. Diri saya menjadi lebih leluasa menarik garis waktu ke masa yang lebih lampau. Saya pernah merasa menjadi baik untuk seseorang. Segala daya saya korbankan untuk mempertahankan label baik di depan tokoh itu. Alih-alih menjadi baik, saya justru melakukan yang sebaliknya. Saya menjadi buta dan mengabaikan banyak teguran. Ternyata memang begitulah cara cinta bekerja. Hal buruk pun bisa menjelma baik. Lalu, saya juga sering mengiyakan permintaan dari para rekan tanpa menyaringnya. Segala jenis hal yang dimintakan kepada saya, pasti saya berikan tanpa menyesuaikan dengan kemampuan yang saya punya. Saya hanya ingin selalu ada untuk mereka tanpa terkecuali. Lagi-lagi, dengan dalih menjadi baik, saya justru kerap menemukan diri saya di sudut rumah sakit dengan infus yang terpasang di tangan kiri.
Banyak sekali antitesis yang terjadi. Itulah yang melatarbelakangi doa saya agar Tuhan membuat hamba-Nya ini menjadi manusia yang baik, baik kepada sesama; baik kepada diri sendiri. Betul-betul tidak ada templat yang ajek untuk menjadi baik. Yang Tuhan tunjukkan hanyalah kejadian-kejadian di sekeliling. Mungkin Tuhan ingin saya membuat simpulan sendiri dari kejadian-kejadian tersebut agar otak saya terlatih untuk menafsirkan sesuatu. Baiklah. Besok saya akan mengganti isi doa alih-alih bertanya, Ya Tuhan berapa lama lagi saya diberi kesempatan untuk menjadi baik? Meski saya tahu, Tuhan–seperti biasa, selalu penuh rahasia.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 2
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.