Mengapa Takut Kehilangan?
Beberapa waktu lalu, saya dan keluarga kehilangan seekor kucing. Fenomena kucing hilang ini sudah sering kali terjadi meski kami tidak pernah benar-benar memelihara kucing. Ibu hanya rutin memberi makan kucing-kucing yang berkeliaran di sekitar rumah dengan makanan sisa atau, terkadang, makanan ringan untuk hewan peliharaan. Beberapa kucing rutin kembali. Beberapa lainnya memilih jalan ninja menjadi penggasak tempat-tempat sampah terbuka.
Namun, kehilangan yang terakhir cukup membuat kami terpukul karena si kucing mati di depan mata kami. Kucing yang sudah terlalu sakit itu akhirnya mati setelah tidak mau makan dan menolak obat dari dokter.
Saya tidak punya banyak memori dengan si kucing. Saya bahkan tidak bisa membedakan dia dengan saudara-saudaranya sampai ia sakit. Namun, setelah berhari-hari mengupayakan kesembuhannya, saya harus menerima bahwa kehilangan adalah suatu kemutlakan saat kita punya perasaan mengasihi makhluk lain.
Profesor saya dulu sempat berkata bahwa jika kita terlepas dari bentuk-bentuk kepemilikan, mengapa kita harus merasa kehilangan?
Dalam kehilangan itu, kita akrab dengan perasaan duka. Banyak orang merasa saat mereka kehilangan, mereka tercerabut dari kehidupan yang cerah dan dipaksa untuk berhadapan dengan momok yang tidak pernah mereka sadari sebelumnya. Mungkin itu sebabnya penyesalan disebut selalu datang belakangan.
Lebih banyak orang lagi yang percaya bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya, termasuk perasaan duka. Artinya, dalam titik tertentu, kita harus sadar bahwa dunia tetap berputar dan kehilangan adalah proses yang alami. Lois Tonkin (1996: 10), seorang konselor dan penulis, menjelaskan bahwa manusia cenderung menganggap bahwa seiring berjalannya waktu, duka seharusnya mengecil hingga menjadi tidak berarti lagi. Namun, kenyataannya tidak demikian. Duka tidak mengecil lalu hilang, tetapi tetap tinggal dan memaksa kita untuk hidup berdampingan dengannya.
Dalam tataran ekstrem, tumbuh bersama duka menjadi salah satu fondasi kajian psikoanalisis terhadap penanganan trauma. Secara lebih sederhana, kita sebenarnya terbiasa hidup berdampingan dengan hal-hal yang tidak kita harapkan. Kekecewaan dan kehilangan adalah segelintir di antaranya. Saat memahami bahwa hidup tidak melulu berisi hal yang indah, kita menerima hal-hal yang ideal tidak sepenuhnya realistis, sedangkan hal yang realistis sering kali jauh dari bayangan kita tentang bagaimana hidup seharusnya berjalan.
Hal ini menjelaskan mengapa mengatakan “memulai hidup baru” kepada penyintas kejadian traumatis bukan hal yang sebaiknya dilakukan orang awam. Sebagai pengalam, tidak mudah bagi mereka untuk mengesampingkan duka dan bangkit (move on).
Mungkin inilah yang terjadi saat saya kehilangan seekor kucing. Saya berharap bahwa si kucing akan hidup lebih lama. Cukup lama untuk menjadi hewan kesayangan di rumah kami. Ia akan sehat, beranak-pinak, dan meninggal pada usia tua saat tak ada orang di sekelilingnya. Daripada berhadapan dengan fakta bahwa si kucing tidak bisa lagi bertahan lebih lama tanpa merasa kesakitan, saya lebih tertampar dengan asumsi bahwa hidup yang ia tinggalkan jauh lebih indah. Mungkin, kehilangan kemungkinan itulah yang membuat saya ketakutan.
Referensi:
Tonkin, Lois. 1996. “Growing Around Grief–another way of looking at grief and recovery”. Dalam Bereavement Care. Vol. 15, No. 1, Hlm. 10.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.