Sejak kapan kita punya kesepakatan tentang bagaimana seharusnya warna dilihat?

His skin was the colour of just-pressed olive oil, and smooth as polished wood, without the scabs and blemishes that covered the rest of us.” (Miller, 2011: 26)

Dalam kutipan The Song of Achilles (2011) di atas, Madeline Miller menggambarkan Achilles melalui sudut pandang Patroclus sebagai salah satu orang terdekat Achilles. Penggunaan asosiasi warna untuk menggambarkan sesuatu jamak dilakukan para penulis mitologi Yunani (lihat von Goethe, 1840; Maxwell-Stuart, 1981a; dan Homer, 1999). Jadi, saat saya membaca TSoA, saya tidak menemukan keanehan apa pun sampai suatu hari seorang pengguna Twitter mengunggah kutipan di atas untuk mempertanyakan seperti apa ‘just-pressed olive oil’ tersebut.

Madeline Miller rupanya membalas cuitan tersebut dengan menuliskan bahwa hijau yang ia maksud justru terinspirasi dari bagaimana warna digambarkan dalam mitologi Yunani Kuno. Karena merasa terpantik, saya mencari sumber data tentang hal tersebut dan bertemu dengan beberapa literatur yang membahas warna dalam mitologi Yunani secara komprehensif. Hal inilah yang mengantarkan saya pada kajian linguistik komparatif yang banyak mempertanyakan konsep-konsep universal dalam kepala manusia untuk diekspresikan melalui bahasa.

Deutscher (2010: 20) mengungkapkan bahwa bahasa adalah lensa. Ia mempertanyakan apakah bahasa bisa dipandang lebih dari sekadar peran pasif sebagai refleksi perbedaan budaya dan menjadi instrumen pemaksaan untuk menanamkan budaya dalam pikiran kita. Hal berikutnya yang juga menjadi pertanyaan adalah apakah perbedaan bahasa dapat memicu penuturnya pada perspektif yang berbeda.

Jika kita menggunakan teori tentang bahasa sebagai salah satu produk budaya (salah satunya dari Koentjaraningrat), kita dapat menjawab pertanyaan Deutscher di atas dengan cukup mudah. Namun, menurut William Ewart Gladstone, asosiasi warna dalam karya-karya Homer justru membuka perdebatan tentang bahasa sebagai bagian dari alam atau budaya. Misalnya, kata yang digunakan untuk menggambarkan rambut Achilles adalah xanthos, yang kemudian diterjemahkan dengan blonde atau pirang. Penggunaan xanthos sebagai adjektif, menurut banyak ahli lebih baik dipahami secara simbolis. Secara kultural, pirang dipilih sebagai padanan xanthos karena latar belakang apropriasi budaya sebagai efek Dorian invasions (lihat Hall, 2000). Jadi, penelusuran tentang warna yang benar berbatas pada bagaimana intensi Homer–atau penulis-penulis selanjutnya yang mengadopsi penggunaan warna oleh Yunani Kuno–dalam menggambarkan Achilles.

[The leader of the Aenianes]. His looks and spirit recalled [Achilles] … His eyes, not quite χαροπός but xαροπώτερον μελαινόμενος, gave glances at once proud and ready for love—like the sea when it is just beginning to settle down from a swell into a calm. (Maxwell-Stuart, 1981b: 14)

Dalam kutipan di atas, misalnya, terdapat penggambaran tentang penduduk Ainis yang berasal dari Thessaly sehingga mereka diasosiasikan dengan Achilles (yang merupakan pahlawan dari Thessaly). Istilah χαροπός (kharopós) diterjemahkan dengan ‘amber’ atau ‘kuning lulur’. Hal ini, daripada menjelaskan warna kuning sesungguhnya, justru merupakan poetic cliché yang diterjemahkan pertama oleh Heliodorus sebagai cinta dan laut. Dengan demikian, hubungan asosiasi tersebut adalah psikologis dan bukannya visual, sehingga terjemahannya layak dipertanyakan.

Dari sini, saya setuju dengan pendapat Deutshcer tentang bagaimana budaya dapat memengaruhi perspektif kita melalui konsep-konsep linguistik. Jika secara teoretis hal ini kosher[1] diperdebatkan, pada praktiknya terdapat kompleksitas yang justru dihindari para linguis, psikolog, dan antropolog untuk dikaji lebih lanjut.

 

Referensi:

Deutscher, Guy. 2010. Through the Language Glass: Why the World Looks Different in Other Languages. New York: Metropolitan Books.

Hall, Jonathan M. 2000. Ethnic Identity in Greek Antiquity. Cambridge: Cambridge University Press.

Homer. 1999. The Illiad and the Odyssey. Terjemahan oleh Robert Fagles dari The Illiad dan The Odyssey. London: Penguin Publishing Group.

Koentjaraningrat. 2004. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Maxwell-Stuart, P.G. 1981a. Studies in Greek Colour Terminology Volume I. Leiden: E.J. Brill.

—————————. 1981b. Studies in Greek Colour Terminology Volume II. Leiden: E.J. Brill.

Miller, Madeline. 2011. The Song of Achilles. London: Bloomsbury.

Van Goethe, Johann Wolfgang. 1970. Goethe’s Theory of Colours. Terjemahan oleh Charles Lock Eastlake dari Theory of Colours (1840). London: John Murray.

[1] Hukum tentang kelayakan untuk mengonsumsi sesuatu dalam agama Yahudi. Beberapa menyamakannya dengan halal, tetapi kosher memiliki konsep ‘pareve’ (kenetralan) dan ‘treif’ (makanan yang tidak layak dikonsumsi). Istilah ini dirasa lebih tepat menggambarkan perdebatan teoretis tentang linguistik dalam artikel ini.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.