Dongeng Seorang Perempuan dari Gandhara
Saat dijanjikan akan menikah dengan seorang kesatria, Gandhari berpikir bahwa genap sudah baktinya sebagai putri ayahnya, apalagi mempelai yang dinanti adalah seorang kesatria dari Hastinapura.
Ia percaya Sengkuni adalah seorang kakak yang tidak gentar membela kehormatan keluarga. Akan tetapi, rasa percaya itu juga mengantarkannya ke peraduan kencana bersama Dretarastra di sisinya. Namun, rasa percaya tidak bisa menutupi kekecewaannya sebab, lagi-lagi, nasib membuatnya memihak pada seorang keturunan kesatria yang tidak hanya sebatas saudara raja, tetapi juga buta.
Dalam gemerlap sumpah, Gandhari berkata jika matahari tidak mampu dijangkau oleh suaminya, biarlah ia yang terakhir melihat cahaya di antara mereka berdua. Penolakannya untuk melihat cahaya matahari dimaknai sebagai lambang kesetiaan dan sebagai tuntut darma kepada para dewa.
Penggalan epos di atas menunjukkan bahwa dari sekian banyak mitos yang selama ini membingkai persepsi kita mengenai realitas, mitos-mitos gender dan identitas seksual barangkali merupakan mitos-mitos yang paling ilusif, yang paling dianggap natural (Solomon dalam Budiman, 2000: 29). Kita menerima karakteristik perempuan dan laki-laki sebagai hal yang kodrati sehingga cenderung permisif terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi karenanya.
Gandhari, misalnya, sebagai subjek sosial yang proses dan bentuk eksistensi sosial serta subjektifnya mencakup seks dan gender, juga perlu dipahami sebagai individu yang merupakan representasi dan bagian dari aspek sosiokultural lainnya. Ia memiliki sejarah yang spesifik dan kemudian terbentuk (emergent) serta konfliktual (de Lauretis dalam Thornham, 2010: 263). Meski dibaca, dipahami, dan diresepsi sebagai seorang individu, Gandhari bukan hanya merupakan bentuk tunggal, melainkan juga agen yang membawa wacana penting tentang karakter perempuan.
Karakter perempuan dapat dipahami sebagai citra diri yang meliputi kedudukan, peran, dan posisi. Altenbernd (dalam Sugihastuti, 2002: 43) mengungkapkan bahwa citraan adalah gambar-gambar angan atau pikiran, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Pencitraan diri penting karena merepresentasikan pemikiran dan tingkah laku tokoh tertentu (dalam hal ini perempuan). Dari situ kita kemudian bisa mengetahui ideologi pembentuk citraan tersebut.
Sebagai putri raja, menjadi seorang permaisuri adalah sebuah keniscayaan untuk tidak hanya melepaskan diri dari keluarga, tetapi juga mengangkat harkat dan martabat kerajaan melalui pertanggungjawaban yang politis. Hal itu menimbulkan ilusi bahwa Gandhari berhasil melampaui ekspektasi terhadap stereotipe perempuan dalam pewayangan. Namun, perlu diingat bahwa jalan yang dilalui Gandhari untuk mencapai status tersebut berawal dari pertaruhan antara kakaknya dan Pandu. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati menyikapi suara perempuan oleh narasi yang tidak seimbang.
Sikap Gandhari untuk meminta anak sebanyak mungkin, misalnya, tidak hanya menunjukkan kekuatan hatinya untuk mengukuhkan posisi suami dan keturunannya sebagai penguasa Hastinapura, tetapi juga pentingnya posisi ibu yang melahirkan raja dan kesatria. Lagi-lagi, Gandhari digambarkan memiliki kuasa dan suaranya sendiri, tetapi di akhir, hal itu tidak lain merupakan konstruksi yang melegalkannya untuk diobjektifikasi dengan berbagai cara. Contohnya pendisiplinan tubuh perempuan atau munculnya tulisan ini.
Tulisan ini dapat dipahami sebagai opini ataupun asumsi tentang alternatif sikap dalam menyikapi logika atas karakter perempuan. Citraan bukan sesuatu yang terberi begitu saja, melainkan dikonstruksi sebagai produk budaya yang menjadikan perempuan perlu merasa patut secara fisik dan sosial. Hal tersebut tidak lain merupakan pemeliharaan tradisi yang menunjukkan tidak adanya pembaruan dalam konsepsi akan perempuan.
Saya kira hal itu sangat sesuai dengan ideologi tertentu yang menjadi dasar pembentukannya. Penyebutannya saya hindari sejak awal sebab saya ingin menunjukkan bahwa kita lebih sering meromantisasi daripada mengidentifikasi pokok permasalahannya. Sebaliknya, dengan ini, saya juga terang-terangan meromantisasi dunia ideal yang bahkan tidak terwujud dalam dongeng sebelum tidur.
Namun, saya ‘kan boleh bermimpi.
Referensi:
Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender. Magelang: Indonesiatera.
Kosasih, R.A. Tanpa Tahun. Mahabharata: Leluhur Pandava. Surabaya: Paramita.
Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toety Heraty. Bandung: Nuansa.
Thornham, Sue. 2010. Teori Feminis dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.