Memahami Trauma Melalui Sastra
Jika menulis adalah suatu proses untuk mengabadikan ingatan, manakah yang kita pilih untuk ungkapkan? Satu hal yang saya pahami saat membaca karya sastra adalah rasa sakit yang dialami tokoh-tokoh di dalamnya. Banyak penulis memiliki cara tersendiri untuk mengemukakan rasa bahagia, tetapi rasa sakit—bagi saya—memiliki satu spektrum tersendiri yang menyentuh manusia dalam titik sensitif yang sama.
Dalam bukunya, Cathy Caruth mengungkapkan bahwa rasa sakit dipandang sebagai suatu hal yang terjadi secara berulang dalam kehidupan manusia. Dalam perspektif penulis, meski saat dengan menuliskan penderitaan itu sama saja dengan mengulangnya, ada suara yang terlampiaskan melalui luka yang digambarkan tersebut. Menulis merupakan suatu kegiatan rekoleksi dan dialog yang menjadi terapi bagi mereka yang mengalami pengalaman traumatis.
Hal ini terjadi karena trauma mengantarkan manusia kepada konsep “crisis of life” dan “crisis of death” yang tidak hanya memengaruhi sejarah manusia, tetapi juga menjelaskan bagaimana manusia menghadapi suatu peristiwa yang tak tertanggungkan demi kelangsungan hidupnya.
Trauma digambarkan sebagai peristiwa luar biasa atau bencana tiba-tiba yang responsnya sering kali terhambat dan ditengarai dengan halusinasi yang berulang. Hal ini tampak pada veteran perang atau warga sipil di wilayah konflik. Penjelasan mengenai trauma dapat memberikan jawaban mengenai kecenderungan sejarah yang ditulis tanpa pemahaman mendalam terhadap sesuatu. Kita kembali memikirkan referen untuk mengondisikannya dengan pemahaman masing-masing. Pengulangan tak disengaja akibat pengalaman traumatis membuat subjek mengalami perpecahan persepsi, seperti yang terjadi ketika mereka bermimpi buruk atau mengalami kilas balik. Dalam beberapa kasus, hal ini ditengarai sebagai post-traumatic stress disorder (PTSD).
Menurut Caruth (1995: 3), PTSD ditujukan untuk menjelaskan gejala psikis yang diakibatkan oleh kejadian perang, stres yang bertumpuk, trauma neurosis, dan bencana alam sebelum akhirnya juga menjelaskan gejala yang ditimbulkan dari berbagai kejadian lainnya, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual kepada anak, dan kekerasan.
Contoh karya sastra yang saya kira memuat konsep memori dan fenomena trauma adalah Atonement (2001) karya Ian McEwan. Atonement tidak hanya membahas memori Briony Tallis sebagai tokoh utama, tetapi juga bagaimana Briony kemudian menyikapi trauma tersebut dengan menulis dan memberikan akhir cerita indah bagi kisah Robbie dan Cecilia. Judul “atonement” dipilih karena menurut Perjanjian Lama, ia berarti rekonsiliasi. Briony yang gagal menghadapi trauma dalam kehidupan nyata memutuskan untuk menulis ulang kisah cinta yang ia hancurkan.
Hal ini menunjukkan patologi PTSD yang berkenaan dengan struktur pengalaman dan bagaimana pengalam tersebut menerimanya. Gejala traumatis kemudian tidak dapat disebutkan sebagai penyimpangan realitas, pengabaian terhadap realitas tertentu, ataupun represi terhadap apa yang tak pernah terwujud. Dalam hal ini, trauma seseorang tidak hanya dipandang sebagai suatu gejala yang dapat diatasi dengan mudah, tetapi juga menunjukkan kompleksitas memori manusia ketika trauma merupakan gejala yang berulang dan mengindikasikan suatu gambaran dan kejadian tertentu yang terekam dalam pikiran manusia.
Dalam Atonement, misalnya, pikiran Briony yang awalnya dipenuhi kabut prasangka terhadap Robbie turut mendistorsi memori yang ia ingat. McEwan tidak hanya menunjukkan celah-celah tempat pikiran manusia bisa dimanipulasi, tetapi juga memberi markah yang jelas antara pengalam dan korban.
Referensi:
Caruth, Cathy. 1995. Trauma: Explorations in Memory. Maryland: John Hopkins University Press.
——————. 2016. Unclaimed Experience: Trauma, Narrative, and History. Maryland: John Hopkins University Pres
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.