Sebagai salah satu bentuk keterampilan berbahasa, berbicara adalah kemampuan yang perlu terus kita asah. Meski kita menggunakan kemampuan ini dalam kehidupan sehari-hari, tidak banyak yang punya kesadaran tentang pentingnya kemampuan berbicara sebagai keterampilan berbahasa. Inilah semangat yang dijunjung rekan-rekan pramubahasa saat menginisiasi Festival Berbicara sebagai bagian dari Festival Tetralogi. Dalam kegiatan selama dua jam tersebut, saya tidak hanya berdiskusi dengan peserta tentang permasalahan yang dimiliki saat berbicara di depan umum, tetapi juga saling berbagi pengalaman tentang berbicara dalam beragam situasi tutur.

Awalnya, saat peserta diminta untuk berbicara secara spontan setelah diberi pemantik dengan topik tertentu, saya mencatat beberapa hal berkaitan dengan cara dan pola pengembangan gagasan yang dilakukan oleh peserta. Pertama, berbicara secara spontan dengan topik yang telah ditentukan membutuhkan pengetahuan individu. Sulit bagi kita untuk berbicara secara lancar dengan topik yang spesifik tanpa persiapan sebelumnya. Untuk menyiasati hal ini, kita akan mencoba memutar memori kita tentang hal-hal yang relevan dengan topik tersebut.

Kedua, pengetahuan awal saja tidak cukup. Terkadang kita sangsi apakah pengetahuan yang kita miliki layak disampaikan dan dapat dipahami oleh pendengar. Hal ini kemudian diatasi dengan pengandaian. Pengandaian tidak hanya memungkinkan kita untuk berbicara secara lebih jelas, tetapi juga memastikan relevansi topik dengan jalinan memori yang kita miliki.

Ketiga, untuk memperkuat tuturan, biasanya kita menegaskan kembali definisi atau gambaran umum terhadap topik lalu menekankan gagasan utama yang sudah dikemukakan di awal untuk menunjukkan sikap dan keberpihakan kita.

Dari ketiga pola yang saya amati tersebut, saya menemukan keterkaitan yang erat antara berbicara sebagai keterampilan bahasa dengan memori. Hal ini dapat menjelaskan mengapa saat kita diminta berbicara di depan umum, kita bisa merasa gugup atau bahkan mengalami demam panggung. Pendeknya, ekspresi bahasa kita sangat dipengaruhi oleh aspek fisiologi tubuh manusia. Saat kita panik dan merasa tertekan, misalnya, tubuh kita akan bereaksi secara alamiah akibat rangsangan tersebut hingga mengeluarkan respons seperti napas terasa pendek, berkeringat, mulas, bahkan mual.

Hal ini dijelaskan oleh Bergson (2007: 98) yang memberikan contoh tentang bagaimana manusia memiliki memori spontan (spontaneous memory). Memori spontan ini umumnya muncul dan hilang tiba-tiba seperti ingatan kita akan mimpi (dream-images). Itulah sebabnya jika kita ingin disebut ahli atau menguasai suatu hal, kita diharapkan untuk benar-benar memahaminya guna mengganti gambaran spontan dengan mekanisme motorik. Inilah yang nantinya akan membentuk habit memory.

Habit memory bisa kita lihat pada fungsi sensor motorik manusia yang bergerak seiring mekanisme yang telah tersimpan sebelumnya dan siap merespons stimulus eksternal baru dengan tindakan yang sudah diingat (body memory). Inilah sebabnya kita cenderung mengemukakan pengalaman dan pengetahuan pribadi saat kita diminta berbicara secara tiba-tiba dalam waktu yang lama. Hal ini merupakan tindakan otomatis yang sudah terserap dalam mekanisme tubuh kita akibat kita juga sering melakukannya. Saat berbicara, kita masih bisa memproses memori tersebut dengan menambahkan preferensi, pandangan atau sikap, hingga bagaimana suatu gagasan membuka dialog selanjutnya. Hal ini bisa berulang karena kita menyimpan memori tentang pembicaraan yang kita lakukan sehingga makin lama tubuh kita akan makin akrab dalam menerima rangsangan dan menyikapinya.

 

Referensi:

Bergson, Henri. 2007. Matter and Memory. New York: Cosimo Inc.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.