Menjadi Pencopet
Celana, 1
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996) (Pinurbo, 2016)
Jika Joko Pinurbo adalah pencopet dalam puisinya, saya akan mencoba mencopetnya pula tidak untuk menarik makna dari toko celana seperti yang dilakukan Joko Pinurbo, melainkan justru dari ruang yang ia anggap sunyi; pribadi dan milik dirinya sendiri. Dari berbagai toko celana yang hiruk pikuk, tempat ia dikerumuni oleh para pramuniaga, yang ia inginkan adalah celana untuk pergi ke pesta dengan percaya diri. Namun, akhirnya, ia malah pergi ke kuburan tanpa celana untuk menanyakan pada ibunya yang sudah meninggal tentang celana yang dikenakannya dulu saat kecil.
Dalam membeli dan mengenakan pakaian, kita akan sebisa mungkin menyesuaikan model dan pilihannya dengan acara yang akan kita hadiri. Setelah mencoba berbagai celana, ia malah melepaskan celananya sendiri. Setelah tidak berhasil menemukan celana yang tepat dan pantas, lebih baik ia pergi tanpa celana ke makam ibunya justru untuk mencari celana yang ia kenakan sewaktu bayi. Baginya, ia tampak tampan dan meyakinkan saat mengenakan celana bayi yang lucu.
Hal itu menunjukkan bahwa dari segala macam tawaran dan pilihan yang dijajakinya di berbagai tempat, ia paling percaya diri dengan celana yang dikenakannya saat bayi. Celana yang lucu dan dipilihkan orang dewasa untuknya. Tak peduli ratusan celana yang sudah dicobanya, ia belum merasa menjadi diri sendiri. Pencariannya kemudian atas celana yang dikenakannya saat bayi tidak berarti ia akan mengenakan celana itu, tetapi bisa saja ia berharap menemukan dirinya di masa lalu. Ia yang dipilihkan baju dan tampak lucu; sebab saat itu, ia paling tampan dan meyakinkan. Sebaliknya, dari ratusan pilihan yang dilihat atau dicobanya, ia tak tampak tampan dan meyakinkan.
Pada masa sekarang, kita dihadapkan dengan kemajuan zaman yang memungkinkan kita memperluas pilihan. Namun, hal itu tak menjamin kepuasan kita akan diri sendiri. Sebaliknya, dari banyaknya pilihan yang kita cobakan, kita malah makin tersesat dan merasa lebih baik tak mengenakan apa-apa; seperti sebelum kita punya pilihan, ketika kita hanya mengenakan yang ada untuk kita dan hanya membeli yang perlu untuk kita. Akhirnya, makin lama, kita justru makin merindukan diri kita yang tidak tahu apa-apa. Selain karena kebingungan dengan pilihan dan tawaran, kita juga merasa tak ada yang benar-benar cocok untuk diri kita.
Joko Pinurbo mencopet makna tentang bagaimana segala pilihan dan tawaran dari toko celana itu tak akan memberikan kita keutuhan. Sebaliknya, jika kita sanggup menolak, kita bisa telanjang dan menelusuri jati diri hingga tiba pada kesimpulan bahwa yang kita inginkan bukan hanya celana, melainkan justru diri kita sendiri yang makin hilang dalam pilihan dan tawaran itu.
Demikianlah makna yang saya pahami dari nukilan puisi Joko Pinurbo pada awal tulisan ini. Orang lain bisa saja memahaminya secara berbeda, tetapi makna yang saya utarakan tidak lantas menjadi salah. Demikian pula sebaliknya.
Referensi:
Pinurbo, Joko. 2016. Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Penulis: Innezdhe Ayang Marhaeni
Penyunting: Ivan Lanin
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.