Sastra Cyber Bukan Sastra Sungguhan?
Sejak sekolah dasar mungkin kita sudah dikenalkan kepada sastrawan-sastrawan besar di Indonesia seperti Chairil Anwar, WS Rendra, dan Taufiq Ismail. Ketiga sastrawan tersebut sangat umum dikenal oleh masyarakat sebagai sastrawan. Seiring dengan berjalannya perkembangan sastra, bermunculan sastrawan-sastrawan muda yang membawa angin segar bagi khasanah sastra Indonesia, mulai dari Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya, Joko Pinurbo dengan puisi-puisinya yang ajaib, hingga Aan Mansyur. Siapa yang tidak mengenal Aan Mansyur? Puisinya dalam film Ada Apa Dengan Cinta 2 sangat berpengaruh dalam membangkitkan gairah bersastra anak-anak muda. Anak-anak muda yang pada dasarnya tidak menyukai sastra kemudian banyak membeli buku-buku sastra karena film tersebut.
Apa itu sastra? Wellek dan Warren (1989) dalam buku Teori Kesusastraan mengemukakan bahwa sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Karya sastra menurut ragamnya terdiri atas puisi, prosa, dan drama (Sudjiman, 1988). Pada generasi milenium ini, manusia telah menjadi sebebas-bebasnya makhluk, terutama dalam berekspresi. Dengan adanya perkembangan teknologi, bermunculan media-media sosial yang menunjang kebebasan berekspresi manusia, mulai dari Friendster hingga Instagram yang kini semakin berkembang dan semakin dibuat praktis. Segala pemikiran baru tersebut berdampak pula pada kemunculan “sastra cyber”. Apa itu sastra cyber? Menurut Teguh Santoso dalam web aceh.tribunnews.com, “Sastra cyber adalah karya sastra yang dikerjakan dan dipublikasikan melalui medium internet atau teknologi informatika. Biasanya berupa karya sastra yang bergenre puisi atau prosa meskipun tidak menutup kemungkinan adanya karya sastra drama.”
Kemunculan Sastra Cyber
Sastra cyber tidak dapat dimungkiri lebih terbuka karena dapat diakses oleh siapa pun dan di mana pun. Akan tetapi, hal yang dikhawatirkan adalah keberadaan sastra cyber akan menghilangkan kesakralan karya sastra itu sendiri. Pasalnya, karya sastra sesuai dengan tujuan awalnya itu. Sebab, kini orang-orang bisa membuat sebuah karya sastra tanpa sebuah kegelisahan di dadanya. Biasanya, sebuah karya sastra dalam kehidupan sastra cyber, di Instagram misalnya, dibuat untuk menjadi keterangan gambar yang diunggahnya. Tujuannya untuk memperindah atau memberikan kesan bahwa gambar tersebut bermakna. Akan tetapi, banyak juga akun-akun media sosial berkonten sastra yang memang mengajak masyarakat untuk melakukan hidup bersastra, kemudian memublikasikan kegiatan-kegiatan bersastra yang dilakukan sebuah kelompok atau komunitas, serta mempromosikan sebuah karya sastra dengan kualitas yang baik.
Kini sudah banyak sekali akun-akun media sosial dan blog berkonten sastra yang berusaha menularkan kehidupan bersastra, misalnya Sesakata, NKCTHI, Rintik Sedu, hingga akun media sosial personal, seperti Wira Nagara dan Peri Sandi. Para pembuat konten tersebut memanfaatkan teknologi yang ada sebagai sarana untuk memublikasikan dan menularkan kehidupan bersastra yang mereka lakukan sehari-harinya. Kegiatan yang dilakukan oleh mereka, misalnya, mengumpulkan karya-karya orang lalu memublikasikannya di akun mereka. Peri Sandi misalnya, dirinya sering kali menggunakan media sosial untuk mengunggah hobinya membaca puisi, menulis, hingga mengajak orang lain untuk melakukan hal yang serupa.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.