Apa yang Ingin Dicapai?
Baris pertama ini mulai ditik pada 24 April 2021, 22.41 WIB. Satu jam sebelumnya, saya baru selesai berbincang virtual dengan sahabat saya, Rani. Kalau saya tidak salah mengingat, kali terakhir kami bertukar kabar panjang adalah bulan Juli 2020. Perbincangan kami malam ini—lebih tepatnya pertanyaan Rani yang tidak sengaja terlontar—menyisakan bekas yang kebas. Kurang lebih begini bunyinya: “Jadi, sekarang apa yang ingin dicapai?”
Mengingatnya saja membuat saya kerap menarik napas dalam-dalam. Sialnya, pertanyaan itulah yang kini menghantui benak saya. Bukan karena saya tidak memiliki jawabannya, melainkan karena sebab-sebab yang melatarbelakangi jawaban itu. Untungnya, malam ini ada oknum yang mengingatkan saya tentang kewajiban menulis yang belum saya tunaikan. Seperti peribahasa yang berbunyi sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, ya, beginilah saya pada malam Minggu yang hampir habis. Lewah pikir sekaligus melampiaskannya ke dalam bentuk tulisan yang kemudian akan saya setorkan.
Tidak bisa dimungkiri, beberapa kejadian pada satu tahun terakhir begitu memberi sumbangsih terhadap perubahan saya pada hari ini. Saya tidak lagi berambisi untuk mencapai sesuatu. Bahkan, saya tidak menyiapkan target apa pun untuk saya upayakan. Saya tidak peduli akan masa depan sebab saya tiada tahu apakah masa depan akan menjadi milik saya. Hari ini saya menulis swalatih, siapa tahu besok teman-teman yang menulis narasi duka tentang saya. Saya hanya memperjuangkan yang kini sedang saya jalankan, semampunya. Kendati waktu kerja saya pekan ini melebihi batas, saya tidak pernah merencanakannya. Sebisa mungkin, saya hanya merampungkan tanggung jawab, alih-alih tidak mau berutang lalu ditagih oleh para oknum yang saya berikan janji.
Saya pernah ditampar keras oleh kenyataan karena ekspektasi yang saya ciptakan. Kini, betapa tenangnya saya menjalani hidup tanpa memiliki ekspektasi apa-apa. Tidak ada lagi saya yang kewalahan mengobati sakit yang semestinya bisa saya cegah. Saya tidak khawatir dicap kalah bersaing di kehidupan karena saya merasa tidak sedang berlomba.
Kemarin saya berkeinginan menjadi leksikograf. Hari ini justru saya berkeinginan menjadi dosen. Entah besok saya berkeinginan menjadi apa. Satu keinginan yang tidak akan berubah: saya ingin berdampak baik. Jika bisa memberi banyak dampak dengan melanjutkan kuliah dan mendalami ilmu leksikografi, ya, saya akan menjalankannya. Saat melihat orang-orang di sekitar saya merasakan dampak yang saya bagikan, meski sepele, saya merasakan nikmat yang sulit dideskripsikan oleh kata-kata. Kenikmatan yang tidak bisa diukur atau ditukar dengan uang sekali pun.
Ah, saya teringat gurauan yang pernah terucap oleh ayah saya sewaktu saya masih kecil. Katanya, “Uang itu hanya sebuah kertas—yang kalau kamu bakar pun akan musnah.” Saat itu saya merajuk karena uang yang diberikan kepada saya hanya selembar, sedangkan yang diberikan kepada kakak saya lebih banyak jumlahnya. Biarpun sekarang uang bisa berwujud digital, gurauan ayah saya itu selalu melekat di kepala. Saya memaknainya sebagai sebuah amanah untuk tidak menghambakan uang.
Kembali pada pertanyaan Rani tadi. Beginilah jawaban saya. Saya tidak tahu pasti apa yang ingin saya capai. Yang pasti, saya hanya perlu alasan untuk saya bangun tidur setiap paginya–mengikuti rapat koordinasi kantor, misalnya.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 2
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.