Pada 2017 lalu, di tengah-tengah kesibukan kuliah di ibu kota, saya menyempatkan diri berlibur sejenak ke Yogyakarta. Saya memilih penginapan yang berbeda setiap harinya untuk menemukan “cerita” yang berbeda dari mereka. Salah satu tempat penginapan tersebut berada di daerah Bantul. Penginapannya bernuansa bambu dan berada jauh di ujung desa dengan akses jalan setapak. Suasananya sangat tenang, tidak ada bunyi berisik klakson, polusi, apalagi gedung-gedung tinggi.

Keesokan paginya, saya iseng berkeliling desa dengan berjalan kaki sembari menenteng kamera—siapa tahu ada hal menarik untuk diabadikan. Di tengah perjalanan, saya menemukan sebuah warung sarapan yang dijaga oleh seorang ibu paruh baya. Melihat jajaran makanan tersebut, perut saya sontak berbunyi. Saya pun mendekat dan memesan makanan dalam bahasa Indonesia karena saya tidak bisa berbahasa Jawa selain ora, opo, dan hitungan bilangan hingga angka empat.

Sang ibu hanya tersenyum menanggapi saya, tapi ia tidak mengambil makanan yang saya pesan. Saya ulangi lagi pesanan saya, kali ini dengan senyum yang tidak lepas dari wajah—siapa tahu saya dianggap tidak sopan awalnya karena kurang tersenyum, ‘kan? Namun, lagi-lagi sang ibu hanya tersenyum memperhatikan saya. Ia terlihat kebingungan. Saya mengulangi kembali pesanan saya, kali ini sembari menunjuk makanan yang saya inginkan. Ibu itu tertawa lantas mengambil pesanan saya. Ia kemudian memberikan piring berisi makanan sembari berbicara dengan bahasa Jawa. Sebaliknya, saya yang kebingungan. Saya kemudian berkata bahwa saya tidak mengerti bahasa Jawa. Namun, ibu tersebut sepertinya tidak peduli—atau tidak mengerti—ia terus berbicara bahasa Jawa kepada saya. Sepertinya menceritakan sesuatu, menunjuk beberapa hal di sekeliling kami, tapi saya hanya bisa membalasnya dengan tersenyum hingga makanan saya habis.

Setahun kemudian, kejadian serupa terulang kembali. Pada Januari 2018, saya mengikuti kegiatan Gerakan UI Mengajar (GUIM) di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Titik pengabdian saya berada di Dusun Sarangan, tepat di kaki Gunung Prau. Saya tinggal untuk mengajar dan berbaur dengan masyarakat selama 25 hari di sana. Lagi-lagi, bahasa Jawa menjadi kelemahan saya. Pada hari-hari awal, saya kesulitan memahami apa yang murid-murid saya katakan, padahal mereka bercerita dengan seru dalam bahasa Jawa. Begitu juga saat saya melakukan kunjungan ke rumah wali murid, beberapa dari mereka tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga sering kali saya perlu membawa seseorang yang mengerti bahasa Jawa dan bahasa Indonesia untuk menemani saya bertemu dengan para wali murid itu.

Akhir-akhir ini, memori mengenai kejadian yang berkaitan dengan bahasa Jawa tersebut terus berulang karena satu dan lain hal. Ditambah lagi, beberapa bulan lalu, saya diberi hadiah oleh teman-teman saya berupa kalung beraksara Jawa dengan inisial nama saya. Indah sekali bentuknya.

Saya jadi sering membaca beberapa artikel mengenai Jawa sekarang, mulai dari bahasa, budaya, hingga filosofinya. Namun, tetap saja kerap kali saya mengernyitkan dahi dan kebingungan memahami filosofi mereka, tertutama yang dituliskan dalam bahasa Jawa. Hal ini menyadarkan saya kembali betapa pentingnya menguasai suatu bahasa. Slogan jenama Narabahasa Kuasai Bahasa, Kuasa Dunia seolah berteriak-teriak di kepala saya mengatakan, “Tuh, aku benar, ‘kan! Dengan menguasai bahasa, kamu bisa menguasai dunia. Ga bisa bahasa Jawa, ya, sulit memahami budayanya, toh!”.

Hmmm…. Ada tidak, ya, guru bahasa Jawa yang mau mengajari saya? Atau, siapa tahu ke depannya Narabahasa mau membuatkan kelas bahasa Jawa dan bahasa daerah lainnya? Hmmm…. Siapa tahu, ‘kan?

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.