“Narabahasa makin ramai, ya, Pak,” ujar saya pada Pak Ivan melalui pesan WhatsApp yang terkirim pukul 00.16 WIB, 30 September 2020. Dua jam sebelumnya, acara #KumpuldiRumah: Lepas Sambut Pramubahasa baru saja selesai terselenggara. Selesainya acara virtual tersebut menjadi penanda resminya bergabung tiga anggota baru Narabahasa yang berstatus Pramubahasa angkatan ke-2. Dengan demikian, tim Narabahasa menjadi berjumlah total 14.

Saya tidak pernah berekpektasi bahwa perkembangan Narabahasa bisa secepat ini, terlebih lagi dalam kondisi pandemi. Perusahaan rintisan yang baru berisi dua orang—saya dan Pak Pendiri, Ivan Lanin—pada awal dirilis Februari 2020, kini memiliki kaki pada tiap divisinya. Semakin banyak kaki, perjalanan pun bisa semakin jauh.

Saya pun tidak pernah menyangka bisa menjalin hubungan (kerja) jarak jauh dengan sebagian besar rekan yang merupakan “orang baru” dalam hidup. Frasa “orang baru” pada kalimat sebelumnya merujuk pada mereka yang benar-benar baru, yang wajahnya tidak pernah saya tatap secara langsung, yang suaranya tidak pernah saya dengar tanpa alat perantara komunikasi, yang tiada satu inci pun pada tubuhnya pernah saya sentuh baik untuk saling bersalam atau berpeluk. Kami bertemu, berkenalan, dan bekerja secara virtual.

Dua orang baru pertama yang ada dalam cerita saya di atas, yaitu Charlenne Kayla dan Listi Hanifah. Saya bisa menebak apa yang ada dalam benak mereka saat kali pertama bertemu virtual dengan saya yang banyak diamnya. Mungkin mereka berpikir bahwa saya adalah sosok yang jutek. Namun, saya tidak bisa mengatur jalannya takdir bahwa dua bulan setelah itu saya menjadi penyelia keduanya.

Charlenne berhasil membuat saya mengubah pandangan bahwa orang yang kerap beropini dan tertarik terhadap isu yang menurut saya berat ternyata bisa receh juga. Itu terbukti melalui takarir-takarirnya yang setiap waktu mengalami perkembangan kejenakaan. Sering kali, saat meninjau editorial, karyanya berhasil membuat saya tertawa.

Lalu, ada Listi yang pada hari pertama masuk kerja sudah berani menelepon saya, yang bahkan percakapan pertama kali itu berlangsung selama hampir dua jam. Pribadi yang lembut hati dan tuturnya ini berhasil memudahkan hidup saya selama dua bulan (kurang lebih). Saya yang banyak lupanya kerap diingatkan untuk melakukan hal-hal sepele yang sering terabaikan. Satu kalimatnya yang masih membekas, “Mbak harus bisa menjadi penyelia untuk diri Mbak sendiri.”

Tiga orang baru gelombang kedua, yaitu Eben Haezar, Mochamad Alviensyah, dan Qinthara Silmi Faizal. Saya tidak berharap apa pun terhadap empat pegawai berstatus magang (salah satunya Harrits Rizqi yang merupakan junior saya di kampus dulu) yang bergabung pada Juli 2020 itu. Kekosongan harapan tersebut justru membuat saya merasa bahwa mereka berhasil mengisi banyak ruang dalam diri saya.

Eben Haezar mampu memengaruhi beberapa aspek dalam kepala saya karena beberapa tindak pikirnya. Saya selalu kagum dengan caranya memandang sesuatu. Saat saya harus menjadi penyelianya pada bulan ke-2 dia bermagang, saya sangat ragu bahkan merasa tidak mampu. Saya merasa sebaliknya, dialah yang mungkin lebih baik jadi penyelia saya (?). Ketika saya bilang bahwa dia adalah orang yang galak dan jutek, percayalah bahwa itu tidak benar adanya.

Mochamad Alviensyah selalu membuat saya tertawa melalui pesan WhatsAppnya meski itu sangat tidak jelas. Tingkahnya yang sama sekali tidak pernah sopan kerap membuat saya lupa sejenak bahwa saya sedang lelah. Saat rapat bersamanya pun, selalu ada riuh tawa yang entah bagian mana yang lucu selain tingkahnya. Budaya kerjanya yang militan berhasil membuat saya yakin bahwa kelak, entah kuartal depan atau tahun depan, Narabahasa bisa semakin canggih pelayanannya.

Qinthara Silmi Faizal si bungsunya kami semua. Saya lebih sering menyelami sosok Qinthara sebagai adik daripada sebagai rekan kerja. Meski saya bukan penyelia langsungnya, tetapi hampir semua uraian kerjanya merupakan tanggung jawab lama saya. Tiada hari kerja tanpa pertanyaan darinya yang masuk ke pesan WhatsApp saya. Meski berisik dan terkadang garing, saya paham jelas betapa bertumbuhnya anak ini. Tipe dirinya yang selalu mau belajar dan mau dibentuk berhasil membuat saya mempercayakan sepenuhnya urusan pelayanan eksternal kepadanya.

Satu orang baru gelombang ketiga ialah Nabilah Salsabila. Saya turut mewawancarainya saat proses perekrutan. Pribadinya yang mudah tertawa berhasil membuat saya menjadikan kontaknya sebagai salah satu tujuan telepon ketika saya sedang bersedih. Dengan bercakap dengannya, meski sebentar dan tidak sedang membahas topik tertentu, saya bisa tertawa. Lebih tepatnya, saya tertawa karena dirinya tertawa. Suaranya bahkan seperti hiburan tersendiri bagi saya. Terlepas dari itu, anak ini pun jauh berkembang dari awal mula bergabung sampai sekarang, termasuk untuk urusan ejaan.

Tiga orang baru gelombang keempat ialah Elisabeth Kivana Damayanti, Nabila Azhari, dan Nadia Virdhani Hia. Ketiganya merupakan pramubahasa angkatan yang kedua. Meski saya belum kenal terlalu dekat dengan ketiganya, saya sudah merasakan kehadiran mereka membawa banyak sekali manfaat.

Kiva, si perempuan kalem, berhasil menarik perhatian saya sejak kali pertama dia melaporkan tugas divisi Produk kepada saya. Jarang sekali ada orang yang tulisannya lolos dari koreksian saya, selain Pak Ivan. Kiva berhasil menyaingi Pak Ivan untuk urusan tersebut. Saya selalu salut ketika Kiva bertanya tentang sesuatu yang tidak dipahaminya dengan sangat terperinci. Meski tidak semua pertanyaannya saya beri jawaban, keseriusannya saat diberi tugas patut diapresiasi.

Nabila, yang entah sudah diracuni apa oleh Alviensyah, mampu membuat saya terhibur, baik karena sinyalnya yang sering bermasalah maupun karena perangkatnya yang sering bikin ulah. Nabila berhasil merebut sedikit beban saya, terutama dalam proyek yang sedang berjalan untuk BPJS Kesehatan. Semakin hari semakin terlihat tumbuh kembangnya. Hal itu terbukti dengan fakta bahwa tiada hari saya tanpa pertanyaan dari Nabila.

Orang baru yang terakhir, Nadia. Sebelum berkenalan dalam sesi wawancara, dirinya sudah mampu membuat saya kagum hanya dengan menonton rekaman videonya. Sorot matanya kala itu menunjukkan semangat yang sulit saya definisikan. Itu semua diperjelas saat kami dipertemukan dalam sesi wawancara sampai akhirnya saya memantapkan hati untuk memilihnya. Proses kami bekerja bersama selama hampir satu bulan ini mungkin bisa diwakili dengan pernyataan: saya tidak menyesal memilih Nadia. Saya kagum dengan kegigihannya yang diharapkan tidak pernah pudar sampai akhir masa magang nanti.

Selain dengan orang baru, saya juga menjalin hubungan jarak jauh dengan empat orang yang sudah lama saya kenal, yaitu Yudhis, Harrits, Mbak Lan, dan Pak Ivan.

Yudhis merupakan teman seperjuangan saya semasa kami masih menjadi mahasiswa alias budak proker. Perjuangan kami yang paling membekas adalah saat kami menyiapkan sebuah acara besar untuk memperingati Bulan Bahasa 2016. Meski saya sering diracuni dengan kata-kata kasar ala Yudhis, saya bersyukur bisa menjadi wakilnya. Saat sedang pusing memikirkan konsep dan kekurangan dana, ia bukannya menangis, malah mengumpat. Yudhis adalah penulis, penyair, sekaligus pengonsep paling baik versi saya. Karyanya selalu berhasil membuat banyak orang kagum.

Harrits merupakan junior saya sewaktu di kampus. Dulu, saya tidak begitu mengenal sosoknya. Yang paling saya ingat adalah ketika kami mendapat tugas mewawancari Ivan Lanin pada 2016. Kami bertiga (saya, Harrits, dan Ivan) pernah ada dalam satu potret, lalu 4 tahun kemudian kami ada dalam satu grup yang setiap malam pada hari kerja bertemu virtual untuk rapat. Takdir memang lucu, ya, selucu tingkahnya Harrits yang tiba-tiba mengirim stiker atau meme konyol. Harrits masih menjadi salah seorang yang tidak bisa saya tebak akal dan perasaannya. Kalau otaknya, tak perlu diragukan lagi. Biarlah katalog Produk yang berbicara.

Mbak Lan merupakan atasan tiga bulan saya sewaktu di perusahaan yang tidak boleh disebut namanya. Dahulu, saya hanya mengenalnya sebagai seseorang yang andal dalam pemasaran korporat. Saya tidak banyak mengenal aspek lain dari pribadinya kala itu. Setelah Narabahasa ada dan Mbak Lan bergabung satu bulan setelahnya, proses mendekatkan diri saya padanya dimulai. Kalau ada pertanyaan, bagaimana pun menyebalkannya saya pada awal kuartal, mungkin Mbak Lan mampu menjawabnya dengan sangat terperinci. Sosok kebundaannya Mbak Lan mampu menghancurkan kerasnya sifat saya secara perlahan. Sekarang, kami berasa seumuran.

Terakhir, Pak Ivan. Saya kehabisan stok kata-kata untuk mendeskripsikan betapa kagumnya saya terhadap beliau, dan rasa kagum itu sama sekali belum berkurang dari sejak awal mula saya bekerja bersamanya. Beliau sedikit pun tidak pernah memarahi saya, tidak pernah menentang keputusan saya yang kerap gegabah dan tidak masuk akal, serta tidak pernah menghakimi saya bahkan saat saya menjelma menjadi sosok yang menyebalkan. Meski sudah banyak kecewa yang saya tinggalkan untuknya, beliau tetap berdiri tegak sebagai guru yang tidak pernah lelah mengajarkan hal baik.

Banyak yang bilang bahwa salah satu kunci untuk lancar berhubungan jarak jauh adalah saling percaya. Saya percaya bahwa orang-orang yang saya deskripsikan di atas mampu membuat Narabahasa berkembang lebih pesat dan memberi banyak manfaat. Semoga esok, dan seterusnya, Tuhan memudahkan hubungan jarak jauh kami ini. AMIN.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.