Mudah Menangis
Sewaktu berusia enam tahun, saya pernah menangis untuk sebab yang tidak terduga. Kala itu, ayah saya mengajak pergi berkeliling kota. Di perhentian kendaraan oleh sebab lampu lalu lintas berwarna merah, kaca mobil sisi kiri ayah saya diketuk. Saya refleks membukanya. Seorang bapak tua berpakaian lusuh dengan satu kaki menodongkan plastik bekas bungkus permen ke arah kami. Ayah saya memberikan tiga lembar uang miliknya dan memasukkan ke plastik milik bapak itu.
Lampu lalu lintas yang berganti warna hijau menjadi tanda perpisahan kami dengan bapak itu. Namun, setelahnya, saya menyerang ayah saya dengan berbagai pertanyaan tentang bapak itu yang berakhir dengan saya menangis. Bahkan, setibanya kami di rumah pun, saya masih menangis kala mengingat bapak itu. Saya lupa bagaimana persisnya imajinasi saya bekerja. Yang saya bayangkan adalah betapa susahnya hidup bapak itu: sendiri, satu kaki. Lantas, hati saya perih. Minggu-minggu setelahnya pun, setiap kali melewati jalan yang sama, saya masih merasakan sedih yang serupa, meski bapak itu tak pernah lagi saya temui.
Pernah juga sewaktu kelas tiga SD, untuk kali pertama, saya diajak naik kereta oleh ayah saya menuju kota. Stasiun Pesing menjadi stasiun tujuan kami. Saat itu, Stasiun Pesing belum seperti sekarang. Dari peron stasiun, meski ada pembatas berupa pagar besi, masih terlihat jelas pedusunan warga.
Duh, lagi-lagi saya lupa bagaimana persisnya imajinasi saya bekerja kala itu. Yang saya ingat hanya betapa sedihnya saya melihat dusun-dusun yang mereka sebut rumah. Kardus yang mereka anggap dinding. Seng bekas yang mereka anggap atap. Papan tipis yang mereka anggap pintu. Bahkan, saya tidak menemui benda yang mungkin akan mereka anggap jendela. Di bagian depannya, banyak sekali sampah menghiasi ruang yang mereka anggap pekarangan. “Sampah itu adalah alat mereka untuk bertahan hidup,” ujar ayah saya kemudian. Itu sebabnya, sepanjang jalan pulang, saya menangis –disaksikan oleh banyaknya penumpang kereta tujuan Tangerang.
Sampai swalatih ini ditulis, saya selalu mengutuk diri saya sendiri yang mudah merasakan iba, lalu menangis. Itu menyusahkan. Sungguh. Misal, ketika sedang menonton film sedih di bioskop bersama teman, saya memerlukan usaha (dan waktu) lebih untuk menghentikan tangis saya. Saya pun pernah bertanya kepada Tuhan kenapa dibuat-Nya hati saya dengan komposisi kekuatan yang minim. Namun, Tuhan–seperti biasa, selalu penuh rahasia.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.