Papa
Cokelat yang saya beli tadi siang di sebuah gerai perbelanjaan berhasil mengingatkan saya terhadap seseorang yang selalu membelikannya supaya saya merasa senang tanpa ada embel-embel romansa. Sebelum saya menguraikan tulisan ini, sebetulnya keringat di mata sudah lebih dulu muncul. Terlebih, saat beberapa adegan film Keluarga Cemara yang saya tonton ulang di Netflix kemarin semakin membuat saya mengingat sosok laki-laki ini. Saya diajarkan untuk memanggilnya papa.
Entah apa yang tergejolak, saat saya dapati wajahnya kian renta, helaian rambut putih di kepala, tulang pipi, dan mata sayu yang saya pandang seiring saya beranjak dewasa. Tuhan memberi saya malaikat sejenis ini, dua lengannya yang gagah memapah saya menjadi perempuan yang (sedikit) kuat. Lengan yang menjamah ketika dulu saya berucap “Pa, kalau sudah besar, Dessy pengin jadi orang hebat”. Dengan tegas dirinya menjawab, “Pasti bisa, makanya belajar yang benar dan selalu berdoa sama Tuhan.”
Saya pun mengingat dongeng-dongengnya yang selalu mengantarkan saya tidur, yang berhasil membuat saya terlelap mendapati mimpi tentang masa depan. Dulu saya tak peduli, harus sebanyak apa lagi meniti kehidupan, asalkan ada papa yang selalu memapah, menepuk pundak sebagai penyemangat pada hari yang mengancam membunuh. Dulu saya tak bisa membayangkan, ketika harus menghadapi dunia luar yang terlalu gaduh, meredam semuanya sendirian. Saya tak begitu yakin untuk mampu merobohkan dinding tangguh penuh emosi, membludak bagai pisau tajam.
Namun, sekarang, putri kecilnya sudah berlalu. Saya dipaksa takdir melewati detik yang bergelayut tanpa balutan lengan kokohnya. Titah demi titah, maki dan terjang saya terima seolah hidup benar-benar memasung saya untuk menjadi sekuat papa. Bagi saya, doanya menjadi restu; marahnya menjadi pelajaran; dan bahagianya menjadi sesuatu yang saat ini sedang saya usahakan.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.