Pertempuran Istimewa
Menjalani hari-hari usai meraih gelar sarjana ternyata tidak sesederhana ucapan “Duh, ingin cepat-cepat lulus”. Rumitnya lagi, selalu ada kerinduan untuk kembali menjadi mahasiswa. Pada September 2018, saya harus merelakan diri memasuki fase peralihan. Fase yang menyebalkan. Fase yang membuat saya terus berpikir mengenai tujuan saya hidup setelah diwisuda. Tapi, fase ini istimewa. Saya banyak belajar. Berkaca pada mereka di sekeliling saya.
Sebut saja si A. Pilihannya menjadi guru usai meraih gelar sarjana bukan tanpa alasan. Jika kalian meremehkan profesi seorang guru honorer karena bayarannya yang tidak sesuai dengan peraturan upah minimum rata-rata, saya pernah menjadi salah satu dari kalian. Betapa malunya saya saat saya melupakan satu hal: upah yang didapat guru tidak terbatas, tidak dapat ditandai dengan tanda jasa apa pun di dunia. Itu sebabnya lahir kenyataan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka hebat sebab mereka akan terus melahirkan orang-orang hebat. Tidak ada orang hebat yang tidak memiliki guru. Hormat saya untuk seluruh guru di dunia–juga untuk teman-teman terdekat saya yang memilih untuk menjadi guru. Saya bangga kepada mereka yang berusaha untuk bertahan.
Lalu, saya juga berkaca pada teman saya yang memilih untuk menjadi pencari berita. Tidak pernah sedikit pun terlintas dalam daftar keinginan saya untuk menjadi jurnalis. Setiap hari kerjanya ke sana ke sini lalu menulis. Tidak memiliki jam kerja pasti sebab sumber berita tidak dapat diprediksi. Pagi bisa menjadi waktu berangkat, tetapi bisa juga menjadi waktu pulang. Malam bisa menjadi waktu istirahat, tetapi bisa juga menjadi waktu bekerja. Tak jarang pula kewajiban-kewajiban utama sebagai seorang hamba terpaksa dilewatkan. Memilih antara meliput atau memenuhi ibadah salat Jumat. Atau, kewajiban-kewajiban sebagai seorang anak yang mau tidak mau harus direlakan. Memilih antara bekerja atau menemani ibu yang sedang rindu. Menyeimbangkan antara dunia dan akhirat akan berhasil bagi mereka yang pandai membuat keputusan. Rasa kagum yang sedalam-dalamnya saya berikan untuk teman-teman saya yang rela berhadapan dengan banyak pilihan seperti itu di setiap harinya. Betah atau tidaknya tergantung bagaimana cara menikmatinya, ‘kan? Lantas, bagaimana dengan jenjang karier yang sebetulnya perlu diusahakan untuk kebutuhan masa depan? Biarlah mereka yang menjawab. Lagi-lagi, saya bangga kepada mereka yang berusaha untuk bertahan.
Banyak di antara teman-teman saya yang memutuskan untuk mengabdi pada ahensi. Secara sukarela mereka menyerahkan diri ke dalam siklus kelam yang selalu melelahkan pikiran dan perasaan. Ide-ide kreatif yang mereka ciptakan harus melalui banyak proses revisi baru bisa dinikmati oleh banyak orang. Kerja sampai larut bahkan hari libur bisa menjadi hari lembur. Mengikuti apa maunya klien ternyata sulit jika tidak sesuai dengan maunya hati. Terus-terusan memikirkan konten sampai lupa memikirkan diri sendiri. Sibuk mengurus media sosial klien sampai abai dengan media sosial diri sendiri. Namun, betapa bangganya mereka saat melihat jerih payah mereka dapat dilihat di mana-mana dan oleh siapa saja. Ucapan selamat yang seluas-luasnya saya tujukan untuk teman-teman saya yang selalu bisa melahirkan ide dan konten kreatif setiap saat. Saya selalu bangga kepada mereka yang berusaha untuk bertahan.
Tak bisa dimungkiri, beberapa tahun terakhir ini adalah masa kejayaan perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia. Teman-teman saya pun menyadarinya dan itu sebabnya banyak di antara mereka yang memilih untuk bekerja di perusahaan rintisan, dari mulai yang sudah terkenal atau yang baru berkembang. Setiap hari mereka tidak perlu memikirkan busana formal untuk pergi ke kantor atau mengkhawatirkan upahnya akan dipotong jika telat masuk kantor. Kantor perusahaan rintisan umumnya didesain seunik mungkin agar mendukung daya kreativitas pegawainya. Kerja dari pagi sampai pagi, tetapi gaji hanya cukup untuk tiga puluh satu hari. Namun, saya yakin, mereka yang memutuskan untuk mengabdikan diri pada perusahaan berjenis rintisan, pengetahuan, kemampuan, dan mentalnya akan berkembang secara bersamaan. Tak heran jika mereka yang pandai mengambil hikmah akan termotivasi lalu mendirikan perusahaan rintisan yang sesuai dengan impiannya. Semoga teman-teman saya termasuk ke dalam golongan yang demikian. Kali ini, saya tidak hanya bangga kepada mereka yang berusaha untuk bertahan, tetapi juga kepada mereka yang mampu bertahan lalu berhasil mengambil pelajaran.
Bagaimana dengan saya? Sudah dua tahun, terhitung sejak diwisuda, seringkali saya menemui diri saya yang gelisah, tanpa arah. Berkontemplasi dengan dua pilihan, yaitu mengikuti restu orang tua atau mengusahakan mimpi yang saya punya. Berkaca pada keputusan teman-teman terkadang membuat mata saya ikut berkaca-kaca. Saya tidak sehebat mereka dalam membuat keputusan. Bahkan, sering kali saya menyia-nyiakan kesempatan. Banyaknya tawaran ternyata tidak sebanding dengan banyaknya pertimbangan saya sebagai manusia yang inginnya menjadi salah satu linguis di Indonesia.
Sulit untuk memenuhi permintaan Ibu yang ingin anaknya mengadu nasib di negeri orang atau mengiyakan tawaran Ayah yang ingin anaknya bekerja di perusahaan ternama milik temannya. Sementara, mimpi saya bertolak dengan keduanya. Tidak mengiyakan sama saja dengan mengecewakan laki-laki dan perempuan yang sejak dulu selalu berjuang untuk bahagianya saya. Tidak sejalan dengan ayah; tidak sepemikiran dengan ibu, adalah hal yang paling meresahkan. Sebab pada akhirnya, apa-apa yang saya lakukan tetap harus mendapat restu dari mereka. Sebab pada akhirnya pula, merekalah satu-satunya rumah tempat saya berpulang kalau-kalau saya lelah berpetualang. Saya hanya perlu waktu untuk membuktikan. Jika saya sudah kehabisan waktu di mata ayah dan ibu, barangkali jalan terbaik adalah berdamai.
Tulisan ini adalah tanda adanya pertempuran yang sulit diprediksi pemenangnya. Tak usah ditebak, cukup didoakan. Sampai detik ini pun, bagian diri saya yang idealis sedang bertarung melawan diri saya yang realistis. Kelak, apa pun yang terjadi, saya yakin pada akhirnya saya akan mengalah dengan kalimat “memang sudah kehendak Tuhan”.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.