Tanaman
Pada suatu pagi yang biasa, seorang perempuan duduk di teras rumah memandangi tanaman yang berbaris rapi menantikan sang surya. Ia baru saja menerima notifikasi dari sang waktu. Kini, kerjanya hanya menunggu. Padahal, sebenarnya bisa saja ia melakukan aktivitas seperti biasa—yang membuatnya selalu merasa lebih hidup. Sepengetahuannya, waktu akan melesat begitu cepat dan ia tak berdaya untuk memperlambat atau bahkan menghentikan lajunya.
Tak bosan-bosan ia memandangi tanaman yang menjadi penyebab sendunya pagi itu. Bukan, bukan karena tanaman itu layu. Justru tanaman itu sudah tumbuh begitu mekar. Aromanya yang semerbak kerap dihidu oleh para tetangga. Rupanya elok makin memikat dari hari ke hari. Sejak notifikasi dari sang waktu diterima, dalam benaknya terus terbayang bahwa tanamannya akan menemukan rumah yang baru.
Ia pun sebenarnya sudah paham bahwa pertemuannya dengan tanaman itu hanyalah serangkaian masa. Ia akan menerima benih; memupuk dan mengairi; memastikan dan menyaksikan tanamannya bertumbuh; lalu seperti pagi ini: menerima notifikasi bahwa masanya sudah hampir habis. Nyatanya, ini sudah merupakan kali keempat ia mesti merelakan kepergian apa yang ia tanam. Namun, kenapa sendunya masih sama?
Belum usai pertanyaan itu terjawab, langit-langit teras rumahnya lantas menjelma menjadi layar pertunjukan. Ia mendapati dirinya sedang melakukan kegiatan yang menjadi bagian favoritnya setiap pagi—menyirami dan memberi pupuk. Baginya, itu sama dengan mengisi energi untuk dirinya sendiri. Ia membayangkan kelak tanamannya akan tumbuh dan diminati oleh banyak orang. Ya, meski bayangan itu baru hidup dalam angan-angan, menurutnya itu sudah cukup membahagiakan. Ia berani bertaruh pada takdir bahwa bayangan itu akan mewujud nyata.
Kendati senang memberi air dan pupuk, bukan berarti ia adalah perawat yang ulung. Ia pernah terlewat menyirami tanamannya dengan dalih dirinya sendiri sudah kehabisan air dan pupuk. Parahnya lagi, pernah juga dirinya lebih memilih merebah di kasur dan mengunci pintu rapat-rapat daripada mengurusi tanamannya yang nyaris kering disergap matahari. Jika tanaman itu boleh berbicara, pasti sudah habis ia dicaci maki.
Pernah juga pada suatu hari, ia bertingkah lewah terhadap tanamannya. Perlu waktu lama untuk ia menyadari bahwa terlalu banyak memberi air dan pupuk pun akan berdampak buruk. Tanaman hanya perlu menerima secukupnya sesuai daya dan kapasitasnya untuk tumbuh. Terlalu banyak air dan pupuk pun akan membatasi ruang tumbuhnya—bahkan bisa membuat tanamannya layu lalu mati.
Ia pun makin larut dalam pertunjukan yang masih berlangsung. Jika tak disudahi, itu akan menjadi pertunjukan yang amat panjang, padahal apa yang ia sesali sebenarnya tidak akan mengubah jalan cerita. Ia nyaris memohon kepada waktu untuk membawanya ke masa lalu. Sayangnya, itu tak masuk akal dan dirinya tetap dihantui rasa gagal. Lalu, terdengar suara di telinganya. “Gagal adalah ketika kita berhenti berusaha,” ujar salah satu tanamannya yang berhasil menghentikan pertunjukan alot itu.
Seketika ia terperanjat—mencoba mencerna apa yang barusan didengar. Ia kemudian beralih memaksa dirinya menemukan jawaban atas pertanyaan: Kenapa bisa ia diberi paham oleh tanamannya? Sebenarnya, daripada mempertanyakan yang tak perlu, lebih baik ia memanfaatkan sisa hari sebelum kembali menerima notifikasi dari sang waktu yang mengabarkan bahwa masanya sudah habis. Namun, sepertinya ia akan menggali penjelasan sampai pada titik yang paling hampa. Ia terus mengutuk isi kepalanya yang makin gaduh, dan, tanpa disadari, jawaban hanya tinggal angin lalu.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.