Denting Piano
Denting piano
Kala jemari menari
Nada merambat pelan
Di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan
Alunan lagu Iwan Fals itu terdengar jelas dari pinggir jendela. Ia seolah mendukung suasana. Rintik baru saja turun dan malam ini terasa kian sunyi dan menusuk.
Aku menatap nanar menembus jendela. Lagu itu adalah lagu favorit Bapak. Biasanya Bapak akan menyanyikannya dengan diiringi denting piano yang syahdu. Jarinya lincah bermain dengan nada, persis seperti lirik pembuka lagu ini. Lalu, ia akan memintaku duduk di sampingnya dan kami akan bernyanyi bersama.
Lagu itu juga adalah lagu pertama yang dapat kumainkan seorang diri dengan piano. Saat itu Bapak sakit dan aku sangat ingin Bapak sembuh. Aku ingin menghibur Bapak dengan lagu favoritnya. Seminggu penuh aku berlatih. Tepat pada hari ketujuh, kumainkan dengan sungguh lagu itu untuk Bapak yang kuminta berbaring di sofa tengah rumah kami—agar ia dapat mendengar dengan jelas.
Saat nada pertama berbunyi, Bapak sontak menoleh kepadaku. Seiring irama yang bergulir, ia pun bernyanyi bersamaku. Ketika lagu selesai, kuberanikan menatap Bapak. Kutemukan matanya berlinang. Kurasakan mataku pun panas dan berair. Kupeluk tubuhnya yang makin ringkih. Tubuh yang selalu siap menopang dan memenuhi segala pintaku. Tubuh tangguh yang selalu penuh kasih.
Rintik di luar makin deras. Tanpa kusadari rintik di wajahku pun berlaku sama. Makin kuusap, makin ia mengalir tanpa ampun. Akhirnya aku biarkan ia apa adanya.
Bapak adalah segala-galanya bagiku. Ia mungkin satu-satunya orang yang berkata kepadaku bahwa anak lanang boleh menangis. Ia justru akan marah jika aku menahan emosiku. Katanya lagi, emosi itu adalah anugerah dari Tuhan untuk manusia. Jadi, apa pun bentuknya, ia harus diterima dengan ikhlas. Dengan begitu, kita pun akan ikhlas menjalani hidup, alih-alih mengutuknya.
Pak, nyatanya menjadi ikhlas itu tidak mudah. Orang-orang berkata padaku untuk membiarkan waktu yang menyembuhkan sesaknya. Mengapa orang-orang itu begitu percaya bahwa waktu yang memegang kendali terhadap rasa yang aku punya, Pak? Buktinya, orang-orang itu salah.
Tepat hari ini, sudah tiga puluh tahun Bapak pergi dan ikhlas masih belum jadi kawan baikku. Setiap tahun aku masih menatap jendela. Setiap tahun pula, pada waktu yang sama, hujan akan turun dan lagu kesayangan Bapak kubiarkan bersenandung. Setiap tahun itu pula, air mataku akan jatuh.
Pak, padahal lagu favorit Bapak itu berjudul “Yang Terlupakan”. Namun, bagiku, selamanya Bapak tak akan terlupakan. Selamanya aku akan tetap menangis mengingat hari kepergian Bapak. Selamanya aku akan berharap lagu itu dapat kita nyanyikan kembali bersama—walau hanya satu kali lagi.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.