Kapal Layar Mandes
Siang itu cuaca tak begitu terik. Cahaya matahari hanya punya sedikit celah untuk memancarkan sinarnya. Mendung dan rintik hujan menahan tujuh orang muda mudi di sebuah restoran dekat dermaga. Ketujuh muda mudi ini tak saling mengenal. Kabarnya, tiap-tiap dari mereka mendapatkan sebuah bisikan dari suara yang sama. Suara itu menyebut dirinya Mustaka.
Mereka cukup heran ketika Mustaka tak henti-henti membisikkan perintah untuk datang ke restoran itu. Suara itu terlampau mengganggu untuk diabaikan sehingga mereka semua terpaksa menuruti perintah. Saat bertemu di tempat yang sama, ketujuh muda mudi itu bingung. Mengapa Mustaka memerintahkan mereka berkumpul di tempat itu?
Ketujuh muda mudi yang awalnya sama-sama diam mulai saling menyapa dan menceritakan apa yang mereka alami dengan Mustaka. Setelah mereka bertegur sapa, suara Mustaka kembali muncul di telinga mereka, memerintahkan untuk menaiki sebuah kapal layar yang telah disediakan. Tak mau ambil pusing dan tanpa pikir panjang, mereka bertujuh menaiki kapal layar yang diberi nama “Kapal Layar Mandes”.
Suara Mustaka kini sudah tak sekadar muncul sebagai bisikan. Suara itu nyata menggaung entah dari mana. Tak lama Mustaka memerintahkan salah satu dari ketujuh muda mudi itu untuk menjadi nakhoda kapal. Mustaka mengatakan, ialah yang akan menjadi kapten, memimpin sepuluh hari perjalanan di lautan lepas. Terkejut mendengar tentang sepuluh hari perjalanan, seorang pemudi di antara mereka bertanya kepada Mustaka mengenai apa maksud dari perjalanan sepuluh hari ini? Lalu, ke mana dan apa tujuannya?
Mustaka mengatakan bahwa mereka—ketujuh muda-mudi itu—akan melakukan perjalanan ke sebuah pulau besar bernama Singgur. Namun, dalam perjalanan menuju Pulau Singgur, mereka harus melewati tiga pulau kecil dan singgah di sana barang satu malam. Sebelum berangkat, tiga di antara muda-mudi ini sempat melakukan protes karena menganggap bahwa hal tersebut adalah kegilaan yang percuma. Namun, karena tak punya pilihan lain, ketiga orang tersebut terpaksa mengikuti perintah Mustaka.
Kapal berlayar. Mereka masih saling menutup suara. Namun, karena angin laut mulai menggerogoti kebosanan mereka, akhirnya mereka saling membuka suara. Interaksi mulai terjalin, kata demi kata mulai terucap dan memancing obrolan-obrolan menyenangkan. Mereka yang mula-mula berpencar, mulai mendekat, berkumpul di ruangan sang nakhoda.
Mereka mulai berkenalan dan menyebutkan namanya masing-masing. Sang nakhoda bernama Pandur. Perempuan yang sempat bertanya maksud dari perjalanan itu bernama Yuti. Salah satu pemuda yang sempat protes bernama Tangkir. Satu lagi bernama Sukit, Dan satu lagi adalah seorang perempuan bernama Cintra. Dua lagi adalah pemuda dan pemudi yang paling banyak diam. Sang pemuda bernama Tenggur dan sang pemudi bernama Sandra.
Seiring perkenalan dan suasana yang mulai cair, suara Mustaka sudah tak terdengar lagi. Sejauh obrolan berjalan, mereka menyadari banyak sekali perbedaan di antara mereka. Satu-satunya yang sama ialah fakta bahwa mereka belum menemukan makna hidup bagi diri masing-masing. Barangkali, itulah alasan munculnya suara yang sama dalam kepala mereka. Suara Mustaka.
Hari mulai gelap, mereka masih terombang-ambing di laut lepas tanpa tahu apa yang akan dihadapi di depan sana. Selain itu, mereka juga mulai bertanya-tanya, ke mana minggatnya si Mustaka dan suaranya yang amat mengganggu itu? Kini, ketujuh muda mudi itu kembali terpisah. Yuti duduk di bagian depan kapal sembari memandangi bintang-bintang, Cintra membaca buku, dan yang lain asyik dengan kebosanannya masing-masing.
Tak lama, muncul Tangkir membawa dua gelas kopi. Ia menghampiri Pandur, sang nakhoda, dan memberikan satu gelas kopinya. Tanpa ditanya, Tangkir mengatakan bahwa ia bosan dan butuh teman mengobrol. Lagi pula ia tak tega meninggalkan Pandur sendirian memegang kemudi kapal. Sambil tersenyum ramah karena terkesan, Pandur menerima kopi itu dengan bahagia. Tak lama Pandur mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkannya pada Tangkir. Tangkir menerimanya dengan senang hati. Malam itu, mereka makin akrab hanya karena hal sederhana berupa kopi dan rokok. Tangkir dan Pandur mulai mengobrol lebih banyak. Tangkir juga mengatakan bahwa ia juga bisa menjadi nakhoda pengganti jika sewaktu-waktu Pandur Lelah.
Bersambung ke Bagian Dua, Dua Pekan Lagi
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.